Rabu, 09 November 2011

Soeharto tak Pantas Raih Gelar Pahlawan!

Jakarta - Mantan aktivis 98, Masinton Pasaribu menegaskan, sikap pemerintah yang tak memberikan gelar pahlawan kepada Presiden kedua, Soeharto, dinilai tepat. Masinton menegaskan, Soeharto masih terganjal persoalan kasus korupsinya yang hingga kini belum juga selesai.

"Ketetapan MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraaan Negara yang Bebas KKN, yang isinya mengamanatkan penuntasan dugaan KKN mantan Presiden Soeharto masih berlaku, dan belum pernah dicabut. Jadi, Soeharto masih terganjal TAP MPR," tegas Masinto, Selasa (08/11/2011).

Ditegaskan, pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto menyalahi UU No 20 tahun 2009 tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, yang berasaskan keadilan, kehati-hatian, keobjektifan, dan keterbukaan.

Tidak setiap mantan presiden, katanya lagi, layak mendapatkan gelar pahlawan, apalagi presiden yang melakukan kejahatan kemanusiaan, seperti tragedi kemanusiaan terhadap orang-orang yang dicap sebagai komunis tahun 1965 hingga 1967, tragedi kemanusiaan di Aceh, Timtim, Lampung, Papua, dan lain-lain.

"Hitler yang melakukan kejahatan kemanusiaan tidak pernah dianugerahin gelar pahlawan dari negara dan rakyat Jerman. Sebagai negara yang beradab, tentu sisi pengabdian yang pernah dilakukan Soeharto harus dihargai oleh negara, namun penghargaan negara terhadap pengabdian Soeharto bukan berarti memberikan gelar kepahlawanan kepada Soeharto," ungkapnya

Apalagi, lanjut Masinton, peristiwa kekerasan negara yang hingga saat ini masih terjadi terhadap rakyat Papua adalah warisan kebijakan militeristik yang diterapkan oleh rezim orde baru Soeharto sejak tahun 1967 yang hingga sekarang masih dilanjutkan oleh presiden SBY terhadap rakyat  Papua.

'Surat Cinta' Politisi kepada Wartawan

Catatan Khusus :

Yth. Rekan wartawan,

Berikut komentar soal:

Perlu pengaturan media Untuk publikasi parpol

Perlu diatur penggunaan media untuk kepentingan partai di dalam dan di luar masa kampanye di revisi UU Pemilu. Hal ini penting untuk tidak membuat media kehilangan independensinya dan mendorong terjadinya persaingan tidak sehat, ketika pemilik media terlibat aktif ke dalam politik praktis.

Sejauh ini yang sudah diatur dalam UU Pemilu hanya maksimum iklan PSA (Public Service Advertisement) partai 10x per hari per TV selama masa kampanye. Itupun pengawasannya pada pemilu 2004 dan 2009 tidak pernah dipublikasikan oleh KPU ataupun Bawaslu. Menyongsong pemilu 2014 dan seterusnya yang semakin memungkinkan peran penting media

Untuk menertibkan perlu diatur beberapa hal:

1)maksimum banyaknya dan durasi iklan partai di berbagai media, di luar dan di dalam masa kampanye;

2)mekanisme pelaporan partai kpd KPU atau Bawaslu ttg biaya iklan yg hrs dibuktikan dg log proof tayangan di TV, radio, atau jenis media lainnya;

3)mekanisme pengawasan dan audit oleh Bawaslu atau KPU thd pelaporan yg dilakukan parpol.

Atas pemuatannya diucapkan terima kasih.
M. Romahurmuziy
Sekretaris Jenderal DPP PPP

Gerindra: Ambang Batas Parlemen 20 Persen saja Sekalian !

Jakarta - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon mempertanyakan ambang batas kursi parlemen atau parliementary treshold sebesar empat persen yang diusulkan pemerintah terkait revisi UU Pemilu. Menurutnya, kurang pas, bila empat persen PT kemudian membatasi demokrasi.

"Kita inginnya, cukup 2,5 saja. Atau, tiga persen, karena dengan ambang batas sebesar itu tak kemudian dianggap membelenggun hak berdemokrasi. Untuk apa mempersulit parpol untuk berdemokrasi," ujarnya saat dihubungi wartawan, Rabu siang (09/11)

Sebelumnya, parpol tengah yang tergabung dalam Setgab koalisi juga memprotes usulan pamerintah yang menetapkan ambang batas kursi parlemen sebesar empat persen. PAN, PPP, maupun PKB, bahkan mengancam akan keluar dari Setgab koalisi dan menuding Demokrat, sebagai partai utama pengusung pemerintah, hanya mengakomodir partai besar saja, Golkar juga PDI Perjuangan.

Fadli Zon kemudian menegaskan, dalam berdemokrasi, permasalahannya, bukan pada soal penyerhanaan partai. Akan tetapi, bagaimana mengelola negara ini dengan membangun pemerintahan yang baik.

"Pemerintahan yang berani melakukan pemberantasan korupsi, bukan dengan melakukan penyederhanaan partai.  Masalah bangsa ini, bukan soal berdemokrasi, tapi masalah utamanya adalah korupsi," tegasnya

"Oleh karena itu, kita tetap menginginkan, ambang batas paling tinggi tiga persen saja. Kemarin kan 2.5 persen, jadi naikknya tak terlalu jauh. Kalau empat persen, apa dasarnya? Kenapa ngga sekalian 20 persen saja, kalau memang ingin menyederhanakan partai," demikian Fadli Zon

Golkar : Satgas Denny Indrayana,Bubarkan saja!

Jakarta - Desakan untuk pembubaran Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum kian terang di Senayan. para politisi Di DPR tersebut menilai keberadaan Satgas PMH yang ditinggalkan Denny Indrayana tersebut hanya menghabiskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sudah tidak efektif lagi

"Karena minim prestasi dan hanya dijadikan alat pencitraan lebih baik dibubarkan" ujar anggota komisi III DPR, Bambang Soesatyo saat berbincang dengan logikapolitik, beberapa saat lalu (Rabu 9/11)
Alasan tersebut dinilai politisi Golkar ini, agar dana dari APBN yang dipakai yang jumlahnya puluhan miliar per-tahun dapat dipergunakan untuk kepentingan lain yang lebih menyentuh kepentingan masyarakat luas

"Dalam catatan kami, prestasi satgas PMH tidak lebih hanya mengunjungi sel Artalita dan merekayasa kasus Gayus yang hingga kinipun penanganannya tidak jelas"terang pria yang kerap bicara lantang di gedung wakil rakyat ini

"Sementara kasus-kasus mafia hukum di pengadilan seperti  suap kepada hakim, MA  seperti dalam kasus DL Sitorus yang diduga ada pejabat penting negeri ini yang melakukan penyuapan dan dana jumbo itu juga mengalir ke kantong pribadi sang pejabat tersebut hingga kini tidak ada progresnya"demikian Bambang

Rieke Diah Pitaloka : Silahkan Revisi tapi......

Jakarta – UU No.13 tahun 2003 lahir untuk menyiasati tekanan asing untuk perlindungan hak-hak konstitusional angkatan kerja dan tenaga kerja. Tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 tekanan IMF sangat kuat terhadap Indonesia sebab hutang yang semakin membangkak dan mereka menginginkan Indonesia harus menjadi pasar kerja murah dengan upah murah

"Untuk itu, Hukum perburuhan diciptakan untuk memberikan perlindungan lebih kepada buruh. Apapun kedudukan, posisi atau jabatannya, buruh adalah pihak yang berada dibawah kekuasaan pengusaha"ujar anggota Komisi IX DPR,di Jakarta, beberapa saat lalu (Rabu 09/11)

Karenanya, Politisi PDI P ini mengatakan kebijakan politik perburuhan atau ketenagakerjaan harus ditujukan untuk melindungi buruh dengan adil. Untuk itu, lanjut Rieke,bagi pihak-pihak yang menginginkan revisi UU No. 13 Tahun 2003 harus diingat bahwa revisi tersebut harus benar-benar memperhatikan urgensinya

"Saya tidak anti revisi tapi yang harus diingat ada kepentingan-kepentingan asing. saya mengingatkan kalau  revisi nanti harus ada pemilahan yang jelas antara tugas negara, sipil, pengusaha"terangnya

Perempuan yang kerap lantang bersuara mengatakan bahwa kalau revisi UU nanti terjadi maka pengusaha pribumi harus dilindungi,bukan pengusaha Asing. Tidak hanya itu, Kesejahteraan buruh bukan tugas pengsuaha saja tapi sesungguhnya menjadi tugas negara. Tidak cukup, politik ketenagakerjaan hanya relasi anatar pekerja dan pengusaha justeru seharusnya membuka relasi pekerja, pengusaha dan negara.

"Tapi sekali lagi,  kalau revisi itu menghilangkan pesangon, menghilangkan penghargaaan, menghilangkan hak-hal buruh,  mohon maaf selama saya masih ada Di DPR maka saya orang yang pertama akan menolak revisi" pungkasnya